Pages

Sunday, June 23, 2019

Ulama Betawi Lawan Penjajah Sejak Zaman Sultan Agung

Para ulama Betawi pun telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan Islam di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai ibu kota dari Indonesia, Jakarta telah melahirkan banyak ulama. Para ulama Betawi pun telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan Islam di pusat kota.

Selain giat berdakwah, sejak dulu ulama Betawi dikenal pula turut andil dalam mengusir penjajah sekaligus merebut kemerdekaan di Tanah Air.

Untuk membahas hal itu, wartawan Republika Iit Septyaningsih berkesempatan berbincang dengan Kepala Divisi Pendidikan Pelatihan Badan Manajemen Jakarta Islamic Centre (JIC), Ustaz Rakhmad Zailani Kiki. Berikut kutipan wawancaranya. 

Peran ulama Betawi dalam melawan penjajah? 

Kalau bicara tentang peran ulama Betawi melawan penjajah, kita bisa telusuri dari serangan kedua Sultan Agung dari Mataram ke Ba tavia pada 1629. Sebelumnya pada 1628, Sultan Agung juga telah menyerang Belanda di Batavia.

Namun, yang paling berpengaruh itu saat serangan kedua, sebab banyak korban dari pihak Belanda, bahkan menewaskan Gubernur Jenderal VOC (Vereenigde Oostindische Com pagnie), yaitu JP Coen.

Setelah penyerangan tersebut, sebagian dari pasukan Sultan Agung tidak kembali ke Mataram, tetapi tinggal di Batavia. Misalnya, Tumenggung Mataram Pangeran Cakrajaya yang tinggal di Jembatan Lima di daerah pesisir Sunda Kelapa. Keturunannya yaitu Guru Mansur. 

Ada pula yang menetap di Paseban, lalu keturunannya, yakni KH Fathul Harun. Jadi, para pasukan Sultan Agung yang tidak kembali ke Mataram itu merupakan nenek moyang para ulama terkemuka Betawi.

Dengan begitu, perlawanan dari ulama Betawi terhadap penjajah sudah ada sejak nenek moyangnya yang berasal dari Jawa. Itu sudah menjadi satu yang menggelorakan semangat ulama Betawi yang me mang keturunan pasukan Sultan Agung.

Ketika zaman mendekati kemerdekaan, Guru Mansur misalnya, tetap tidak mau kooperatif dengan tindakan Belanda. Ia selalu berjarak dengan pemerintah Belanda. 

Setelah kemerdekaan, yakni saat Belanda datang dengan sekutu melakukan agresi militer, perlawanan ulama Betawi secara fisik lebih kencang lagi. Lalu, muncul pahlawan di kalangan ulama, seperti KH Noer Ali di Bekasi, KH Hasbiyallah di Klender, dan lainnya. Jadi, semangat melawan penjajah di Jakarta sudah ada sejak lama. Tepatnya sejak VOC melakukan tindak merugikan bagi bangsa Indonesia di Jawa serta Batavia. 

Sejarah nama 'Jakarta' yang kabarnya diambil dari bahasa Alquran? 

Memang ada versi sejarah yang mengatakan nama Jayakarta diambil dari Alquran, yaitu 'Fathan Mubina' atau artinya 'Kemenangan yang nyata'. Hanya saja, ada versi lain yang mengatakan, nama tersebut sudah ada di daerah Betawi sejak lama. 

Sementara, versi yang menjelaskan nama tersebut diambil dari 'Fathan Mubina' adalah ketika Fatahillah konon menyerang Portugis di Sunda Kelapa. Lalu, daerah di se kitarnya ia beri nama Jayakarta. Namun, versi tersebut banyak di persoalkan juga, misalnya oleh Ridwan Saidi (Budayawan Betawi). Beliau menyebutkan, nama itu bukan dari penyerangan Fatahillah, melainkan sudah ada di Betawi sendiri. 

Awal masuknya Islam ke Jakarta? 

Berbicara Jakarta, berarti bicara Betawi. Wilayah kebudayaan Betawi dahulu itu meliputi sebagian dae rah Karawang, lalu Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, dan Jakarta sen diri. Awal masuknya Islam ke wila yah kebudayaan Betawi, yakni disebarkan oleh Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin dari Campa yang per tama kali singgah di Karawang. 

Di situlah pertama kali Islam tersebar, selanjutnya penyebaran semakin luas ke Bekasi dan Jakarta. Proses masuknya Islam tersebut ter jadi pada abad ke-14. Jadi istilahnya, saat Fatahillah menyerang Sun da Kelapa, sudah banyak umat Muslim Betawi di daerah pesisir. Se bagian besar penduduk Betawi saat itu sudah masuk Islam. 

Majelis taklim di Jakarta turut berkontribusi meneruskan perjuangan para ulama? 

Majelis taklim menjadi salah satu institusi pendidikan nonformal di Betawi yang sampai hari ini tetap eksis keberadaannya. Dari dulu ma jelis taklim merupakan wadah un tuk mencetak kader ulama di Beta wi, selain madrasah dan pondok pesantren (ponpes).

Namun, karena di Betawi Ponpes kurang populer, kebanyakan ulama lahir dari madrasah dan ma jelis taklim. Beberapa ulama produk majelis taklim, misalnya Muhammad Syafi'i Hadzami. Ada pula KH Abdurrahman Nawi, yaitu ulama Betawi yang masih hidup.

Majelis taklim yang saya maksud di sini, majelis taklim Kitab Kuning ya, sampai sekarang masih ada. Hal itu karena majelis taklim terbagi dua. Ada majelis taklim tematik atau mengangkat tema populer dan ada majelis taklim Kitab Kuning, misalnya membahas Kitab Riyadhus Shalihin serta Kitab Shahih Bukhori.

Perlu waktu lama, bahkan sam pai belasan tahun untuk meng kha tamkan kitab-kitab tersebut. Kitabkitab itu juga diajarkan di pesan tren, tapi bedanya kalau di majelis taklim santri tidak perlu mondok dan tidak ada batasan usia.

Kajian Kitab Kuning di Jakarta tersebar sampai Pulau Seribu. Alhamdulillah, tetap eksis dan diminati masyarakat. 

Let's block ads! (Why?)

https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/ptk2cr313/ulama-betawi-lawan-penjajah-sejak-zaman-sultan-agung

No comments:

Post a Comment